KUMPULAN ARTIKEL, TULISAN, BERITA, MAKALAH, DAN OPINI TENTANG PERPAJAKAN

Blog ini berisi kumpulan dari Tulisan, Artikel, Postingan, Makalah, Berita dan sebagainya yang berkaitan dengan Perpajakan. Ada yang saya Tulis sendiri dan ada yang merupakan Tulisan atau Artikel orang lain.

Apapun isi dari Artikel ini adalah merupakan pendapat pribadi dari penulisnya, sehingga dalam hal ada perbedaan pendapat mengenai Perpajakan, maka tulisan dalam blog ini hanya sebatas sebagai salah satau referensi yang mungkin pembaca gunakan.


Ada baiknya jika Pembaca memberikan saran dan Masukan untuk kesempurnaan Blog ini


EYILZONE












DAFTAR PTKP BERDASARKAN



UU PPh No. 36 Tahun 2008








NO STATUS BESARNYA PTKP


1 TK Rp 15.840.000


2 K/0 Rp 17.160.000


3 K/1 Rp 18.480.000


4 K/2 Rp 19.800.000


5 K/3 Rp 21.120.000


6 K/I/0 Rp 33.000.000


7 K/I/1 Rp 34.320.000


8 K/I/2 Rp 35.640.000


9 K/I/3 Rp 36.960.000







READ MORE - BESARAN PTKP Untuk Perhitungan PPh Tahun 2009

Wajah Baru DITJEN PAJAK

by [TOSILAJARA] | 09.56 in | komentar (7)

Perjalanan reformasi birokrasi nampaknya tak terasa sudah dimulai sejak tahun 2002 yang dimasinisi oleh Depertemen Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak. (DJP) sebagai lokomotifnya. Tentunya hal ini tidak mengagetkan dengan dimulainya DJP sebagai instansi percontohan reformasi birokrasi dalam memberikan pelayanan prima dan pelaksanaan good governance mengingat kedudukan DJP sebagai instansi yang sangat strategis.

Tahun 2007 ini saja DJP berkewajiban untuk memasukkan penerimaan APBN yang bersumber dari sektor pajak sekitar 70% dan diharapkan setelah reformasi birokrasi berlangsung, penerimaan pajak dapat memberikan kontribusi pada penerimaan APBN hingga mendekati 100% (Majalah Berita Pajak Vol. XXXIX No 1591, 15 Juli 2007). Dengan meningkatnya penerimaan dari sektor perpajakan, diharapkan pula pemerintah mampu meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat dengan tanpa menengadahkan tangan kepada negara lain. Tanpa disadari penjajahan baru (Neokolonialisme) setelah 62 tahun bangsa Indonesia merdeka sebenarnya adalah ketergantungan kepada negara lain, dimana bangsa Indonesia sudah termasuk dalam kelompok Negara-Negara Miskin Pengutang Berat (Highly Indebted Poor Countries, HIPS) seperti diungkapkan dalamWacana:Kejahatan Utang Luar Negeri dan Reformasi Bank Dunia (Jurnal Ilmu Sosial Transformatif No III tahun 1999). Banyak pakar berpendapat bahwa tidak ada suatu bangsa yang secara ikhlas membantu bangsa lain. Motif dibalik hubungan ekonomi internasional baik berupa utang luar negeri maupun investasi asing adalah keuntungan semata-mata dalam bentuk penyedotan surplus ekonomi. Beberapa tokoh yang mengemukakan pendapat ini antara lain Prof Rowena M. Lawson, Prof. Joan Robinson, dan Prof. Hans Singer dari University of Hall England, 1997.

Dengan demikian syarat mutlak menuju kemandirian bangsa adalah dengan meningkatkan peran serta aktif seluruh masyarakat melalui pembayaran pajak. Reformasi birokrasi di tubuh DJP kali ini lebih dikenal dengan kata Modernisasi. Modernisasi tidak hanya sebatas peraturan (kebijakan) perpajakan seperti yang terdahulu, yakni Amandemen Undang-Undang Pajak, melainkan secara komprehensif dan simultan menyentuh instrumen perpajakan lainnya seperti sistem, institusi, pelayanan kepada masyarakat wajib pajak, pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan, serta tak kalah pentingnya moral, etika, dan integritas petugas pajak

KPP Pra Modern

Dalam sejarah reformasi perpajakan tercatat bahwa DJP telah melakukan reformasi besar-besaran pertama kali pada tahun 1983 dengan merubah sistem pemungutan pajak dari semula Official Assessment System menjadi Self Assesment System yang pada waktu itu Kantor Pajak masih dinamakan Kantor Inspeksi Pajak. Kemudian pada tahun 1989, Kantor Inspeksi Pajak diubah menjadi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang menjalankan fungsi pelayanan untuk jenis Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sedangkan KP. PBB (Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan) yang berfungsi sebagai kantor pelayanan untuk jenis Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB). Fungsi pemeriksaan dijalankan oleh Karikpa (Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak) yang sebelum tahun 1994 disebut Unit Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (UP3) dan Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP-4) yang sebelum tahun 2001 disebut Kantor Penyuluhan sebagai fungsi penyuluhan.

Stuktur organisasi pada fungsi pelayanan di KPP Pra Modern berdasarkan jenis pajak seperti Seksi PPh Badan, PPh Perseorangan, PPh Pemotongan Pemungutan, dan PPN. Pada struktur ini fungsi pelayanan dilakukan oleh KPP namun pemeriksaan juga dilaksanakan oleh KPP selain Karikpa, Fungsional Kanwil, dan Fungsional Kantor Pusat DJP sehingga terjadi fungsi ganda. Begitu juga dengan pelayanan tidak bersifat satu atap (one stop service) karena mengingat jenis pajak PPh dan PPN diadministrasikan oleh KPP sedangkan jenis pajak PBB dan BPHTB oleh KP. PBB. Pengajuan keberatan sebelum modern diproses di KPP disamping Kanwil dan Kantor Pusat DJP, hal ini memunculkan dualisme fungsi, karena yang memeriksa adalah KPP dan proses penyelesaian keberatan juga dilakukan di KPP untuk aristasi KPP. Hal inilah yang mendorong dibentuknya KPP Modern.

KPP Modern

Jika kita cermati, perjalanan panjang modernisasi perpajakan DJP dari tahun 2002 hingga sekarang adalah pertama, bermula pada medio 2002 sesuai Kepmenkeu No 65/KMK.01/2002 dibentuk 2 KPP LTO (Large Taxpayers Office) yang kemudian disebutKPP WP BESAR yang berdomisili di Jakarta dengan jumlah masing-masing WP sebanyak 300 WP Badan terbesar di seluruh Indonesia dan hanya mengadiminstrasikan jenis Pajak PPh dan PPN. Kedua,pada tahun 2003 dengan Kepmenkeu No 519/KMK.01/2003 jo. 587/KMK.01/2003 dibentuk 10 KPP KHUSUS yang berdomisili di Jakarta meliputi KPP BUMN, Perusahaan PMA, WP Badan dan Orang Asing, dan Perusahaan Masuk Bursa dan hanya mengadiminstrasikan jenis Pajak PPh dan PPN.Ketiga, pada tahun 2004 berdasarkan Kepmenkeu No 254/KMK.01/2004 dibentuk KPP MTO (Medium Taxpayers Office) yangkemudian disebut KPP MADYA yang berjumlah 1 di setiap Kanwil dan 10 di Kanwil Khusus dengan total 32 KPP Madya di seluruh Indonesia. Jumlah masing-masing WP KPP Madya sebanyak 200-500 perusahaan terbesar di tingkat wilayah Kanwil tersebut termasuk WP lokasi yang domisilinya terdaftar pada Kanwil modern lain dan Indonesia. KPP Madya juga hanya mengadministrasikan jenis Pajak PPh dan PPN. Keempat, pada tahun 2006 hingga 2008 dibentuk KPP Small Taxpayers Office (STO) yang kemudian disebut KPP PRATAMA dengan total 357 KPP Pratama di seluruh Kanwil. KPP Pratama bertugas melayani WP Badan menengah ke bawah dan WP Orang Pribadi meliputi jenis pajak PPh, PPN, PBB, dan BPHTB.

Dalam struktur yang modern ini terdapat perbedaan yang cukup radikal dan signifikan yakni yang dulunya struktur organisasi KPP Pra Modern berdasarkan jenis pajak diubah menjadi berdasarkan fungsi guna debirokratisasi pelayanan seperti Seksi Pelayanan dan Seksi Pemeriksaan dibentuk secara terpisah. Pelayanan perpajakanpun sudah mulai satu atap (one stop service) karena semua jenis pelayanan perpajakan baik jenis pajak PPh, PPN, PBB, dan BPHTB dilakukan di KPP Pratama sedangkan untuk KPP WP Besar dan KPP Madya hanya jenis pajak PPh dan PPN, sehingga menyebabkan adanya peleburan KP.PBB ke KPP Pratama. Proses penyelesaian keberatan hanya ada di tingkat Kanwil, mengingat di Kanwil tidak menjalankan fungsi pemeriksaan lagi karena fungsi pemeriksaan sepenuhnya dilaksanakan oleh KPP Modern yang menyebabkan pula dileburnya Karikpa ke KPP Modern.

Pelayanan Prima KPP Modern

Dengan model KPP Modern seperti diuraikan di atas diharapkan DJP dapat memberikan pelayanan prima kepada masyarakat dalam masalah perpajakan. Untuk mensukseskan pelayanan prima tersebut DJP telah menyiapkan pelayanan ekstra pada setiap KPP Modern.

Tersedianya Account Representatives (AR) sebagai ujung tombak pelayanan dan perantaran antara DJP dengan WP yang mengemban tugas melayani setiap Wajib Pajak dalam hal antara lain pertama membimbing/menghimbau WP dan memberikan konsultasi teknis perpajakan. Kedua, memonitor penyelesaian pemeriksaan pajak, proses keberatan, serta mengevaluasi hasil banding. Ketiga, melakukan pemuktahiran data WP dan menyusun profil WP. Keempat, menginformasikan ketentuan perpajakan terbaru, Kelima, memonitor kepatuhan WP melalui pemanfaatan data & SAPT (Sistem Administrasi Perpajakan Terpadu). Keenam, menyelesaian permohonan surat keterangan yang diperlukan WP. Ketujuh,menganalisis kinerja wajib pajak. Kedelapan, merekonsiliasi data Wajib Pajak dalam rangka intensifikasi. Dengan demikian setiap WP dapat menanyakan hak dan kewajiban perpajakannya kepada setiap AR di KPP Pratama yang telah ditunjuk untuk masing-masing WP sesuai dengan wilayah kelurahan

Pembentukan contact center : complain center, call center, non filers activation center. Dimana pengaduan yang diterima olehcomplain center akan dikoordinasikan dengan unit terkait dan akan ditindaklanjuti dalam waktu 3 hari kerja dan jenis-jenis pengaduan termasuk mengenai pelayanan, konsultasi, pemeriksaan, keberatan dan banding. Adapun media penyampaian pengaduan dapat melalui e-mail, pos, nomor telpon bebas biaya, atau langsung.

Sarana, prasarana, dan pendukung lainnya yang lebih modern meliputi Pertama, Help Desk dengan teknologi knowledge basepada Tempat Pelayanan Terpadu atau dikenal TPT (service counter), Kedua, pelayanan dengan menggunakan sistem komunikasi dan teknologi informasi terkini yang dikenal dengan sebutan e-system antara lain e-payment (pembayaran pajak secara on line), e-registrasion (pendaftaran wajib pajak melalui internet), e-filling (pelaporan pajak melalui internet), e-spt (pengisian SPT dengan program yang telah disediakan DJP), dan e-counseling (konsultasi secara on line). Ketiga, Built in control system: pemanfaatan sistem teknologi informasi untuk pengawasan internal termasuk pengawasan data. Keempat, petugas pajak yang berkualitas tinggi berbasis kompetensi. Kelima, penerapan Kode Etik Pegawai yang diawasi oleh Komite Kode Etik Pegawai, Komisi Ombudsman Nasional, Tim Khusus Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan, dan 2 Subdirektorat Kantor Pusat DJP yang menangani Pengawasan Internal. Keenam, Sistem remunerasi yang lebih baik dengan adanya TKT (Tunjangan Kegiatan Tambahan). Ketujuh, Layar sentuh Informasi Perpajakan (Touch Screen). Kedelapan, Sistem antrian dan LCD Proyektor berikutelectric screen layaknya di Bank. Kesembilan, tersedianya ruang konseling/closing conference serta brosur, leaflet, dan majalah perpajakan. Kesepuluh, tersedianya Bank/Tempat Pembayaran Pajak (bekerjasama dengan PEMDA setempat/Kantor Pos).

Fokus Ekstensifikasi KPP Modern

Mengingat struktur penerimaan pajak saat ini masih bertumpu pada WP Badan dengan jenis pajak PPh dan PPN maka kontribusi penerimaan PPh WP Orang Pribadi (WP OP) perlu ditingkatkan sebagaimana lazimnya di negara maju seperti di Amerika Serikat = 86%, Jepang = 60%, Filipina = 37%, Thailand = 36%, Malaysia = 28% sedangkan Indonesia sendiri 28% itupun hasil kontribusi dari PPh Pasal 21 Karyawan, PPh Pasal 25 Angsuran, dan PPh Pasal 29 Kurang Bayar Akhir Tahun Perseorangan (Makalah Modernisasi Administrasi Perpajakan KPP Pratama, Kantor Pusat DJP)

Secara Nasional jumlah WP Orang Pribadi yang terdaftar di Indonesia masih sangat sedikit, yaitu 2,9 juta NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) pribadi dari sekitar 220 juta penduduk, (Majalah Berita Pajak Vol. XXXIV No 1584, 1 April 2007).

Pada masa modernisasi pajak kali ini ekstensifikasi perpajakan difokuskan kepada karyawan melalui pemberi kerja dan bendaharawan pemerintah dan non karyawan berdasarkan property base sasarannya pertokoan, mall, pusat perdagangan, perumahan, apartemen, dan lainnya serta professional based sasarannya seperti dokter, notaris/PPAT, pengacara, artis, dan sebagainya dengan tujuan lebih tepat sasaran.

Kode Etik Pegawai DJP

Reformasi perpajakan di segala lini yang telah disusun oleh DJP akan sia-sia jika tanpa dukungan dari pihak eksternal maupun dari pihak internal. Sebagai bukti keseriusan pemerintah dalam melangsungkan modernisasi pajak adalah dengan menyeimbangkan reward dan punishment serta menegakkan ketertiban etika, moral, dan integritas petugas pajak. DJP-pun telah menyusun sebuah Kode Etik Pegawai DJP yang diatur dalam Permenkeu No 1/PMK.3/2007 tanggal 23 Juli 2007 tentang 9 kewajiban pegawai dan 8 larangan pegawai baik kepada masyarakat WP, sesama pegawai, atau pihak lain dengan sanksi setinggi-tingginya pemberhentian dengan tidak hormat dan serendah-rendahnya pernyataan tidak puas secara tertulis. Tercatat selama tahun 2006 terdapat 210 pegawai pajak yang telah dijatuhkan sanksi disiplin dan selama Januari 2007 sebanyak 31 orang (Majalah Berita Pajak Vo. XXXIV No 1583, 15 Maret 2007)

Nampaknya, inilah wajah baru KPP Modern ke depan di seluruh Indonesia. Visi yang dicanangkan oleh DJP yakni ”Menjadi Model Pelayanan Masyarakat Yang Menyelenggarakan Sistem dan Manajemen Perpajakan Kelas Dunia, Yang Dipercaya dan Dibanggakan Masyarakat” nampak bukan sebatas impian yang jauh di awang-awang. Ekspektasi dari modernisasi pajak ini adalah meningkatkan kepatuhan (tax compliance), menurunkan keluhan, menurunkan biaya administrasi, menekan/minimalisasi penggelapan pajak, meningkatkan kepercayaan terhadap administrasi perpajakan, serta tak lupa meningkatkan integritas dan produktivitas pegawai pajak.

Dan tentunya tanpa adanya dukungan penuh dari masyarakat luas niscaya modernisasi pajak tidaklah membawa dampak yang positif bagi masa depan bangsa. Dengan demikian slogan ”Pajak, Bersama Anda Membangun Bangsa” atau ”Lunasi Pajaknya, Awasi Penggunaannya” harus kita dukung sepenuhnya agar hasil perjuangan patriot bangsa dalam memerdekakan bangsa Indonesia bisa dinikmati oleh anak cucu kita dan kita doakan semoga modernisasi pajak membawa kemandirian dan kehormatan bangsa.

Tim Penulis Tax Center UNPAD - Tax Center UNPAD, 28 Desember 2007

Disadur dari ortax.org
READ MORE - Wajah Baru DITJEN PAJAK

Apa sih itu BUT?

by [TOSILAJARA] | 09.26 in , | komentar (0)

Abstraksi
Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah subyek pajak luar negeri yang kewajiban perpajakannya diperlakukan relatif sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya. Perbedaan perlakuan perpajakannya dibandingkan dengan wajib pajak dalam negeri antara lain adalah (i) BUT tidak dapat menikmati tax treaty Indonesia dengan negara treaty partner lainnya karena ia bukan penduduk Indonesia, dan (ii) atas laba bersih setelah pajak yang diterima atau diperoleh suatu BUT dikenakan branch profit tax. Untuk menghindari pengenaan pajak berganda atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh penduduk dari negara treaty partner di Indonesia, pengujian keberadaan suatu BUT perusahaan dari negara treaty partner tersebut di Indonesia sebagai kriteria diperlukan untuk menentukan apakah Indonesia memiliki hak untuk memajaki penghasilan tersebut.

Tujuan paper ini adalah untuk membahas dan sekaligus memberikan pemahaman yang mendasar tentang BUT sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan dan tax treaty.

Kata Kunci: a permanent establishment, branch profit tax, tax treaty, resident taxpayer, non resident taxpayer, beneficial owner, force of attraction rule, attributable rule, effectively connected rule, OECD Model.

1. PENDAHULUAN

Sedikitnya ada 2 (dua) perubahan besar yang diakibatkan oleh globalisasi. Yang pertama adalah bahwa era globalisasi yang diwarnai dengan tumbuhnya kawasan bebas perdagangan, jasa dan modal (misal: NAFTA, European Community, dan terakhir AFTA), transaksi internasional telah bertumbuh dengan pesatnya baik dari sisi frekuensi maupun volumenya. Dan yang kedua adalah masuknya investasi asing ke suatu negara dalam bentuk portfolio investment dan foreign direct investment mengakibatkan implikasi yang luas baik dari sisi sosial, ekonomi, hukum dan keamanan terhadap negara pengimpor modal (importing capital countries) misalnya Indonesia.

Dalam melakukan investasi langsung di Indonesia, investor asing dapat melakukannya dalam bentuk joint venture dengan perusahaan asing lainnya dan perusahaan lokal. Umumnya, perusahaan ini berbentuk penanaman modal asing dan berbadan hukum Indonesia sehingga perusahaan penanaman modal asing adalah wajib pajak dalam negeri (resident taxpayer).

Selain itu, perusahaan asing dapat menjalankan usahanya melalui bentuk usaha di Indonesia. Ini yang disebut dengan Bentuk Usaha Tetap (selanjutnya disingkat BUT). Apabila investor asing menjalankan bisnisnya di Indonesia melalui BUT ( a permanent establishment) berarti bahwa perusahaan tersebut tidak berbadan hukum Indonesia sehingga BUT adalah bukan wajib pajak dalam negeri.

Tujuan penulisan paper ini adalah membahas perlakuan Pajak Penghasilan (income tax treatments) suatu BUT perusahaan asing di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan dan tax treaty. Sehingga diharapkan para pembaca memiliki pemahaman tentang BUT.

2. Pengertian Bentuk Usaha Tetap

Sesuai Pasal 2 ayat 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor: 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut Undang-Undang PPh), BUT diartikan sebagai bentuk usaha yang dipergunakan oleh subyek pajak luar negeri (non resident taxpayer) baik orang pribadi (nature person) atau badan (legal person) untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Sesuai OECD Model, yang dimaksud BUT adalah: a fixed place of business through which the business of an enterprise is wholly or partly carried on. Artinya bahwa BUT adalah suatu tempat usaha tetap yang digunakan perusahaan untuk menjalankan seluruh atau sebagian besar usahanya. Pengertian tersebut mengandung beberapa karakteristik yang mewarnai suatu BUT perusahaan asing di Indonesia yaitu: (i) adanya tempat usaha berupa prasarana, (ii) tempat usaha ini harus bersifat tetap, (iii) kegiatan usaha perusahaan dilakukan melalui tempat usaha tersebut, dan (iv) sifatnya harus produktif, dimana BUT tersebut harus ikut andil dalam memberikan laba usaha bagi perusahaannya (kantor pusatnya).

Dalam rangka penghindaran pajak berganda, keberadaan suatu BUT sangat diperlukan sebagai kriteria untuk menentukan apakah Indonesia sebagai negara sumber memiliki hak untuk memajaki penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh penduduk dari negara treaty partner. Namun kriteria tersebut tidak berlaku apabila penerima penghasilan (beneficial owner) berasal dari negara non treaty partner.

Sesuai Tax Treaty Model OECD, pengecualian timbulnya BUT yaitu sebagai berikut:

  • apabila perusahaan dari suatu negara treaty partner menjalankan kegiatan-kegiatan yang terbatas di Indonesia yang cakupan kegiatan-kegiatannya adalah sebagai berikut :
    1. penggunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dimaksudkan untuk menyimpan, memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan;
    2. pengurusan persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata dimaksudkan untuk disimpan, dipamerkan atau diolah lebih lanjut oleh perusahaan lain;
    3. pengurusan tempat usaha tetap semata-mata dimaksudkan untuk pembelian barang-barang atau barang dagangan, mengumpulkan informasi bagi keperluan perusahaan, untuk tujuan periklanan, memberikan informasi atau untuk menjalankan kegiatan-kegiatan yang bersifat persiapan ataupun penunjang bagi perusahaan.
  • apabila perusahaan tersebut menjalankan usahanya melalui agen yang bertindak bebas (independent agent). Independent agentadalah agen yang menjalankan usahanya secara bebas tanpa adanya instruksi dari perusahaan di luar negeri (non resident taxpayer) misalnya makelar, komisioner umum.
  • apabila suatu perusahaan yang berkedudukan di suatu negara treaty partner yang menguasai atau dikuasai oleh perusahaan lain yang berkedudukan di negara treaty partner lainnya ataupun menjalankan usaha di negara treaty lainnya (baik melalui suatu BUT maupun dengan cara lain).

3. Klasifikasi Bentuk Usaha Tetap

Keberadaan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia dapat diidentifikasi kedalam beberapa kelompok yaitu: i) BUT fasilitas fisik (assets type), (ii) BUT aktivitas (activity type), (iii) BUT keagenan (agency type), dan (iv) BUT asuransi (insurance type).



(i) BUT Fasilitas Fisik
Keberadaan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia timbul apabila perusahaan asing tersebut memiliki fasilitas fisik yang merupakan tempat untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usahanya di Indonesia. Fasilitas fisik tersebut merupakan milik sendiri atau disewa dari pihak lain. Contoh fasilitas fisik antara lain adalah:

  • tempat kedudukan manajemen (a place of management);
  • suatu cabang (a branch);
  • suatu kantor (an office);
  • suatu pabrik (a factory);
  • suatu bengkel (a workshop);
  • suatu gudang atau tempat penyimpanan barang sebagai tempat penjualan (a warehouse or promises used as sales outlet);
  • suatu tambang, sumur minyak atau gas, suatu tempat penggalian atau ekplorasi atau eksploitasi sumber daya alam, rig untuk pengeboran atau kapal yang dipergunakan untuk eksplorasi atau ekploitasi sumber daya alam (a mine, an oil or gas well, a quarry or any other place of extraction or exploration or exploitation of natural resources, drilling rig or worker ship used for exploration or exploitation of natural resources).


(ii) BUT Aktivitas
Keberadaan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia timbul apabila perusahaan asing tersebut menjalankan kegiatan jasa-jasa (furnishing of services) di Indonesia dalam jangka waktu melebihi tes waktu (time treshold). Sesuai Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan, termasuk BUT Aktivitas adalah:

  • proyek konstruksi, proyek perakitan, instalasi atau kegiatan pengawasan yang ada hubungannya dengan proyek tersebut, dan
  • pemberian jasa termasuk jasa konsultan yang dilakukan oleh suatu perusahaan melalui karyawan atau orang lain yang dipekerjakan oleh perusahaan itu untuk tujuan tersebut, kegiatan itu berlangsung selama lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.


(iii) BUT Keagenan
Dianggap timbul suatu BUT perusahaan asing di Indonesia apabila perusahaan asing tersebut menjalankan usahanya di Indonesia melalui perusahaan lain yang bertindak sebagai agen yang tidak bebas (dependent agent). Yang dimaksud dengandependent agent adalah agen yang didalam melaksanakan usahanya bertindak untuk dan/atau atas nama perusahaan di luar negeri atau kegiatan agen tersebut seluruhnya atau hampir seluruhnya untuk perusahaan di luar negeri.



(iv) BUT Asuransi
Keberadaan BUT perusahaan asuransi asing timbul di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menutup resiko secara langsung di Indonesia. Pada umumnya, jenis BUT ini belum ada karena perusahaan asing dilarang berusaha secara langsung di Indonesia kecuali dalam bentuk joint venture.



Dalam tax treaty, tes waktu dianggap timbulnya suatu BUT di Indonesia pada umumnya lebih lama ketimbang tes waktu yang diatur dalam Undang-Undang PPh. Misalnya, tes waktu untuk pemberian jasa lain-lain sesuai Undang-Undang PPh adalah 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan tetapi untuk tax treaty Indonesia-Australia adalah 120 hari dalam 12 bulan (lihat tabel 2). Perbedaan ini timbul dari hasil kesepakatan wakil dari kedua negara di dalam perundingan. Negara-negara maju (developed countries) cenderung menginginkan tes waktu yang lebih lama sehingga kemungkinan timbulnya suatu BUT sehubungan dengan jasa konstruksi ataupun pemberian jasa-jasa lain-lain di Indonesia dapat dihindari. Sehingga atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh perusahaan asing di Indonesia tidak dikenai pajak di Indonesia.

4. Cakupan Penghasilan Suatu BUT

Sesuai Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, penghasilan terutang pajak suatu BUT perusahaan asing di Indonesia adalah penghasilan yang diterima atau diperolehnya dari Indonesia. Dan sesuai Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, diatur mengenai cakupan penghasilan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia yaitu:

(i) Sesuai Attribution Rule, penghasilan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia adalah penghasilan yang berasal dari kegiatan usahanya di Indonesia. Misalnya, apabila BUT perusahaan asing tersebut bergerak dibidang perdagangan, maka penghasilannya di Indonesia adalah penghasilan yang berasal dari kegitan usaha perdagangannya di Indonesia;

(ii) Sesuai Force of Attraction Rule, penghasilan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia adalah termasuk penghasilan kantor pusatnya dari Indonesia yang diperolehnya dari kegiatan usaha yang sejenis dengan kegiatan BUT nya di Indonesia. Dengan demikian, penghasilan yang diterima atau diperoleh kantor pusatnya dianggap sebagai penghasilan BUT nya di Indonesia.;

(iii) Sesuai Effectively-Connected Rule, penghasilan pasif (misalnya: bunga dan royalty) yang diterima atau diperoleh kantor pusatnya dan memiliki hubungan efektif dengan kegiatan usaha BUT nya di Indonesia dianggap sebagai penghasilan BUT nya di Indonesia.

Umumnya, penentuan cakupan penghasilan suatu BUT diperlukan untuk melindungi hak pemajakan negara-negara berkembang (developing countries) seperti Indonesia. Dalam perundingan, cakupan penghasilan suatu BUT sering diperdebatkan oleh wakil-wakil dari kedua Negara.

5. Pajak Penghasilan Badan dan Branch Profit Tax

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya di atas bahwa untuk tujuan perpajakan, perlakukan perpajakan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia diperlakukan sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya yaitu antara lain :

  1. Kewajiban Perpajakan Tahunan :
    • Lapor dan setor PPh Pasal 29 atas Laba Usaha Badan PPh Badan Terutang (Tarif Progresif) :
      • 10% x 50juta
      • 15% x 50 juta
      • 30% x sisanya
    • Lapor dan setor PPh Pasal 25 atas angsuran PPh Badan
      • 1/12 bulan x (PPh Badan Terutang – Kredit Pajak PPh 21,22,23,24)
  2. Kewajiban Perpajakan Bulanan :
    • Memotong PPh Pasal 21 atas gaji yang dibayarkan kepada karyawan WNI
    • Memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran bunga/royalti, pembayaran jasa, dan pembayaran sewa
    • Memotong PPh Pasal 26 atas gaji yang dibayarkan kepada karyawan WNA
    • Memotong PPh Pasal 4 ayat (2) Final atas pembayaran sewa tanah dan/atau bangunan

Namun demikian atas laba bersih setelah Pajak Penghasilan Badan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia dikenakan tambahan pajak yang sering disebut sebagai branch profit tax dengan tarif sebesar 20% dari laba bersih setelah pajak (net income after tax).

Apabila perusahaan asing tersebut berasal dari negara treaty partner, maka besarnya tarif branch profit tax sesuai ketentuan tax treaty yang berlaku (lihat tabel 1). Penentuan besarnya tarif branch profit tax sering menjadi perdebatan dalam perundingan tax treaty Indonesia dengan negara-negara lainnya karena beberapa hal yaitu: (i) negara treaty partner tidak menerapkan branch profit tax di negaranya, atau (ii) untuk melindungi kepentingan Indonesia dibidang industri hulu Minyak dan Gas Bumi.

Dalam rangka menentukan besarnya penghasilan kena pajak (taxable income) suatu BUT perusahaan asing di Indonesia, pembayaran ke kantor pusat yang tidak boleh dikurangkan sebagai deductible expenses adalah:

  • royalti atau imbalan lainnya yang berhubungan dengan penggunaan harta, paten atau hak-hak lain;
  • imbalan yang berhubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;
  • bunga kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.

Selain itu, biaya administrasi kantor pusat yang dialokasikan ke BUT nya di Indonesia yang dapat dibebankan hanya sebesar rasio antara jumlah penghasilan BUT nya di Indonesia dengan jumlah penghasilan globalnya dikalikan dengan jumlah biaya administrasi kantor pusat.

Insentif pajak yang diperoleh suatu BUT perusahaan asing di Indonesia adalah pembebasan PPh Pasal 26 ayat (4) atas branch profit tax apabila memenuhi persyaratan yangbersifat kumulatif yaitu:

  • Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;
  • Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut; dan
  • Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan produksi komersial.

6. Penutup

  • BUT adalah subyek pajak luar negeri yang memiliki fleksibilitas dan keragaman jenis sehingga didalam praktiknya sulit untuk melakukan pengawasan terhadap kepatuhannya. Misalnya, keberadaan suatu BUT perusahaan asing yang tergolong BUT Aktivitas di Indonesia hanya sepanjang perusahaan asing tersebut menjalankan usahanya di Indonesia. Apabila perusahaan asing tersebut sudah tidak memiliki kegiatan di Indonesia karena proyeknya selesai maka kewajiban subyektifnya berakhir bersamaan dengan perusahaan asing tersebut meninggalkan Indonesia.
  • Perlu partisipasi masyarakat dunia usaha untuk menginformasikan keberadaan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia. Misalnya, PT. Indosat melakukan Engineering and Procurement Contract (EPC) dengan perusahaan kontraktor asing sebaiknya menginformasikan secara dini kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat ia terdaftar. Contoh lainnya, apabila perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang minyak dan gas bumi (seperti: Pertamina dan Conoco Phillips) menunjuk service providercompany untuk melakukan Turnkey Project, maka disarankan agar segera menginformasikannya kepada Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing.
  • Seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang dimanfaatkan secara luas di dalam dunia usaha (misalnya: electronic commerce), disarankan agar pengertian BUT perlu diperluas dalam Undang-Undang PPh sehingga Indonesia dapat memajaki transaksi tersebut.

Tim Penulis Tax Center UNPAD - Tax Center UNPAD, 7 Desember 2007

Dikutip dari Pajakonline.com

READ MORE - Apa sih itu BUT?

Beberapa Pokok Pokok Perubahan UU PPh tahun 2008 adalah :
  1. Penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Penurunan tarif PPh dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan tarif PPh yang berlaku di negara-negara tetangga yang relatif lebih rendah, meningkatkan daya saing di dalam negeri, mengurangi beban pajak dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP).

    1. Bagi WP orang pribadi, tarif PPh tertinggi diturunkan dari 35% menjadi 30% dan menyederhanakan lapisan tarif dari 5 lapisan menjadi 4 lapisan, namun memperluas masing-masing lapisan penghasilan kena pajak (income bracket), yaitu lapisan tertinggi dari sebesar Rp 200 juta menjadi Rp 500 juta.
    2. Bagi WP badan, tarif PPh yang semula terdiri dari 3 lapisan, yaitu 10%, 15% dan 30% menjadi tarif tunggal 28% di tahun 2009 dan 25% tahun 2010.

      Penerapan tarif tunggal dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan prinsip kesederhanaan dan international best practice. Selain itu, bagi WP badan yang telah go public diberikan pengurangan tarif 5% dari tarif normal dengan kriteria paling sedikit 40% saham dimiliki oleh masyarakat. Insentif tersebut diharapkan dapat mendorong lebih banyak perusahaan yang masuk bursa sehingga akan meningkatkan good corporate governance dan mendorong pasar modal sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi perusahaan.
    3. Bagi WP UMKM yang berbentuk badan diberikan insentif pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal yang berlaku terhadap bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar. Pemberian insentif tersebut dimaksudkan untuk mendorong berkembangnya UMKM yang pada kenyataannya memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian di Indonesia. Pemberian insentif juga diharapkan dapat mendorong kepatuhan WP yang bergerak di UMKM.
    4. Bagi WP orang pribadi Pengusaha Tertentu, besarnya angsuran PPh Pasal 25 diturunkan dari 2% menjadi 0,75% dari peredaran bruto. Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk membantu likuiditas WP dengan pembayaran angsuran pajak yang lebih rendah serta memberikan kepastian dan kesederhanaan penghitungan PPh.
    5. Bagi WP pemberi jasa yang semula dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto menjadi 2% dari peredaran bruto. Perubahan tarif tersebut dimaksudkan untuk memberikan keseragaman pemotongan pajak yang sebelumnya ada yang didasarkan pada penghasilan bruto dan sebagian didasarkan pada penghasilan neto. Dengan metode ini, penerapan perpajakan diharapkan dapat lebih sederhana dan tarif relatif lebih rendah sehingga dapat meningkatkan kepatuhan WP.
    6. Bagi WP penerima dividen yang semula dikenai tarif PPh progresif dengan tarif tertinggi sampai dengan 35%, menjadi tarif final 10%. Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk mendorong perusahaan untuk membagikan dividen kepada pemegang saham, mendorong tumbuhnya investasi di Indonesia karena dikenakan tarif lebih rendah dan meningkatkan kepatuhan WP.

  2. Bagi WP yang telah mempunyai NPWP dibebaskan dari kewajiban pembayaran fiskal luar negeri sejak 2009, dan pemungutan fiskal luar negeri dihapus pada 2011. Pembayaran fiskal luar negeri adalah pembayaran pajak di muka bagi orang pribadi yang akan bepergian ke luar negeri. Kebijakan penghapusan kewajiban pembayaran fiskal luar negeri bagi WP yang memiliki NPWP dimaksudkan untuk mendorong WP memiliki NPWP sehingga memperluas basis pajak. Diharapkan pada 2011 semua masyarakat yang wajib memiliki NPWP telah memiliki NPWP sehingga kewajiban pembayaran fiskal luar negeri layak dihapuskan.

  3. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk diri WP orang pribadi ditingkatkan sebesar 20% dari Rp 13,2 juta menjadi Rp 15,84 juta, sedangkan untuk tanggungan istri dan keluarga ditingkatkan sebesar 10% dari Rp 1,2 juta menjadi Rp 1,32 juta dengan paling banyak 3 tanggungan setiap keluarga. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan PTKP dengan perkembangan ekonomi dan moneter serta mengangkat pengaturannya dari peraturan Menteri Keuangan menjadi undang-undang.

  4. Penerapan tarif pemotongan/pemungut an PPh yang lebih tinggi bagi WP yang tidak memiliki NPWP.a. Bagi WP penerima penghasilan yang dikenai pemotongan PPh Pasal 21 yang tidak mempunyai NPWP dikenai pemotongan 20% lebih tinggi dari tarif normal.b. Bagi WP menerima penghasilan yang dikenai pemotongan PPh Pasal 23 yang tidak mempunyai NPWP, dikenai pemotongan 100% lebih tinggi dari tarif normal.c. Bagi WP yang dikenai pemungutan PPh Pasal 22 yang tidak mempunyai NPWP dikenakan pemungutan 100% lebih tinggi dari tarif normal.

  5. Perluasan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Dimaksudkan bahwa pemerintah memberikan fasilitas kepada masyarakat yang secara nyata ikut berpartisipasi dalam kepentingan sosial, dengan diperkenankannya biaya tersebut sebagai pengurang penghasilan bruto.
    1. Sumbangan dalam rangka penganggulangan bencana nasional dan infrastruktur sosial
    2. Sumbangan dalam rangka fasilitas pendidikan, penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia.
    3. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga dan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia.

  6. Pengecualian dari objek PPh
    1. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh lembaga atau badan nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan pengembangan yang ditanamkan kembali paling lama dalam jangka waktu 4 tahun tidak dikenai pajak.
    2. Beasiswa yang diterima atau diperoleh oleh penerima beasiswa tidak dikenai pajak.
    3. Bantuan atau santunan yang diterima dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tidak dikenai pajak

  7. Surplus Bank Indonesia ditegaskan sebagai objek pajak. Aturan ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan terhadap penafsiran yang berbeda tentang surplus BI. Menurut UU No.7 Tahun 1983 tentang PPh, pengertian penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh WP dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian surplus BI adalah tambahan kemampuan ekonomis yang termasuk objek PPh yang diatur dalam UU PPh.
  8. Peraturan perpajakan untuk industri pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara dan bidang usaha berbasis syariah, diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.

READ MORE - Perubahan UU PPh tahun 2008

DOWNLOAD

Lastcomen

Recent Comments Widget

Adsense

Adsense Indonesia
Bisnis Dahsyat tanpa modal