KUMPULAN ARTIKEL, TULISAN, BERITA, MAKALAH, DAN OPINI TENTANG PERPAJAKAN

Blog ini berisi kumpulan dari Tulisan, Artikel, Postingan, Makalah, Berita dan sebagainya yang berkaitan dengan Perpajakan. Ada yang saya Tulis sendiri dan ada yang merupakan Tulisan atau Artikel orang lain.

Apapun isi dari Artikel ini adalah merupakan pendapat pribadi dari penulisnya, sehingga dalam hal ada perbedaan pendapat mengenai Perpajakan, maka tulisan dalam blog ini hanya sebatas sebagai salah satau referensi yang mungkin pembaca gunakan.


Ada baiknya jika Pembaca memberikan saran dan Masukan untuk kesempurnaan Blog ini


EYILZONE











Bisnis Indonesia, 16 Februari 2009

Dalam beberapa hari terakhir, media massa memberitakan bahwa dengan berlakunya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) maka institusi atau lembaga penyelenggara pendidikan akan dikenakan pajak.

Pengenaan pajak bumi dan bangunan perlu dikaji dahulu

Informasi ini seolah menempatkan pajak sebagai penyebab mahalnya pendidikan yang sangat ditentang semua pihak saat ini. Untuk itulah setidaknya ada dua hal yang perlu ditanggapi berkaitan dengan perlakuan pajak di undang-undang tersebut.

Kriteria objek pajak dalam Pasal 38 Ayat 3 dan 4 UU BHP dan kedua perlakuan Pajak Bumi dan Banguanan (PBB) bagi institusi atau penyelenggara BHP.

Karena institusi pendidikan saat ini dituntut untuk mandiri maka kreativitas usaha untuk menghidupi rumah tangganya otomatis bergulir. Di satu sisi, berkaitan dengan perpajakan, institusi pendidikan telah memenuhi syarat sebagai subjek pajak sesuai dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Secara umum yang menjadi objek pajak dari subjek pajak adalah setiap tambahan kemampuan ekonomi dari subjek pajak tersebut. Lebih lanjut disebutkan ada beberapa hal yang dikecualikan sebagai objek pajak seperti sisa hasil (lebih) yang diterima atau diperoleh institusi pendidikan sepanjang memenuhi persyaratan dalam UU tersebut.

Sebenarnya Pasal 38 ayat 3 dan 4 UU BHP, yang menjadi polemik, telah sejalan dengan Pasal 4 Ayat 3 huruf m UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

Hal yang dikecualikan sebagai objek pajak adalah sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan /atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut.

Sangat jelas sekali pada isi pasal tersebut setidaknya ada dua unsur yang harus dipenuhi sehingga sisa lebih tersebut masuk dalam kategori bukan objek pajak.

Pertama, unsur penggunaan kembali atau penanaman kembali ke bidang usahanya (pendidikan dan atau penelitian dan pengembangan). Kedua, unsur jangka waktu paling lambat 4 (empat) tahun. Nah, kalau salah satu atau kedua unsur tersebut tidak dipenuhi, otomatis sisa lebih terebut masuk sebagai objek pajak.

Tampaknya UU BHP telah mengantisipasi pelaksanaan ketentuan perpajakan dalam UU Pajak Penghasilan, hal itu tampak dalam Pasal 38 Ayat 4 UU BHP yang menyatakan bahwa kewajiban mengalokasikan sisa hasil (lebih) kedalam bentuk lain dapat dilakukan setelah jangka waktu 4 (empat) tahun terlampaui dengan konsekuensinya sisa lebih terebut akan menjadi objek pajak.

Perlakuan PBB

PBB sangat berbeda dengan pajak pajak lainnya yang berlaku di Indonesia. Karena prinsip dasar dari PBB ini adalah pajak atas objek pajak. Artinya, PBB tidak terlalu menekankan kepada subjek pajaknya (pemilik, penyewa, penguasa atau penerima manfaat) asalkan objek pajaknya (tanah dan atau bangunannya) jelas.

PBB ini muncul karena sebenarnya setiap orang akan mendapatkan manfaat dari tanah dan atau bangunan yang ada. Alhasil, sangat wajar sebagai penerima manfaat, memberikan kontribusinya kepada negara.

Tentunya, ada beberapa aturan yang bersifat detail terhadap perlakuan PBB ini. Contohnya, dalam Pasal 3 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 1994 tentang PBB disebutkan yang termasuk dalam objek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah objek pajak yang digunakan semata-mata untuk kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan yang nyata nyata tidak dimaksud untuk memperoleh keuntungan.

Berdasarkan pengertian ini, apakah institusi pendidikan yang menerapkan BHP termasuk salah satunya? Kalau melihat tujuan BHP untuk memberikan "kemandirian" dalam mengelola entitasnya maka perlu penelitian lapangan untuk mengetahui apakah institusi BHP masuk dalam kategori yang tidak dikenakan PBB atau tetap dikenakan PBB atau (mungkin) mendapatkan pengurangan PBB.

Hal ini menjadi tugas kantor pajak di lapangan untuk menindaklanjutinya sebelum keluar Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).

Tugas pajak tidak hanya budgeter, tetapi juga reguleren. Artinya, pemerintah dapat menerapkan perlakukan khusus terhadap perlakuan pajak atas UU BHP ini.

Hal ini dilakukan untuk menyelesaikan masalah sisa hasil (lebih) yang diterima penyelenggara pendidikan tetapi tidak ditanamkan kembali atau sudah lewat dalam jangka waktu 4 (empat) tahun seyogianya Ditjen Pajak dapat menerapkan pajak ditanggung pemerintah (DTP) atau penerapan tarif pajak khusus.

Mengingat sebenarnya tambahan penerimaan pajak atas ini akan masuk kategori windfall, maka pemerintah tidak akan 'rugi'. Demikian juga untuk perlakuan PBB, pemerintah c.q. Ditjen Pajak dapat menerapkan tarif khusus. Kalau memungkinkan tarif 0% sehingga semua PBB tidak terutang.

Chandra Budi
Staf Ditjen Pajak Departemen Keuangan



READ MORE - Perlakuan pajak dalam UU BHP

Jawa Pos, 25 April 2009

JAKARTA - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) segera membuat kriteria dan mendata negara-negara yang masuk kategori tax haven (surga pajak). DJP juga tengah menyiapkan aturan tentang hubungan perusahaan-perusahaan di Indonesia dengan negara-negara yang memiliki kelonggaran pajak itu.

Dengan begitu, korporasi di Indonesia akan sulit memanfaatkan negara tax haven untuk mengurangi pembayaran pajaknya. ''Masih sedang kita finalisasi, nanti kita rilis. Undang-Undang kita tidak cukup lebar memberikan ruang apa saja yang nanti bisa kita atur lebih lanjut,'' kata Dirjen Pajak Darmin Nasution di Kantor Depkeu, Jakarta, kemarin (24/3).

Menurut Darmin, kriteria mengenai tax haven bisa berbeda antara satu negara dengan negara lain. Dia mencontohkan, satu negara A menetapkan tarif pajak 50 persen atau kurang. Lalu, pemerintah negara itu menyatakan negara yang pajaknya lebih rendah dari itu masuk kategori tax haven. Tetapi, ada juga negara B yang menyatakan tax haven di bawah 60 persen.

''Jepang dan Korea tidak pakai persentase. Tapi, mereka bilang jika kurang 50 persen tarifnya, masuk tax haven,'' ujarnya. ''Kita masih pertimbangkan antara persentase dan tariff. Sedang kita finalisasi,'' lanjut Darmin.

Namun, Darmin mengakui UU di Indonesia belum rinci menjelaskan itu. Dalam penyusunan peraturan tersebut, perlu diatur lebih lanjut negara-negara yang bisa masuk tax haven.

Untuk memantau penghindaran pajak, DJP juga menempatkan intelijen pajak di negara-negara yang punya banyak hubungan investasi dengan Indonesia. ''Kami sudah kirimkan surat ke menteri keuangan untuk menempatkan petugas pajak di beberapa ibu kota negara di dunia,'' katanya.
READ MORE - DJP Membuat Kriteria dan Mendata Negara-Negara Tax Heaven


Adsense

Adsense Indonesia
Bisnis Dahsyat tanpa modal