Setelah mengalami beberapa kali Perubahan, Undang Undang PPN terakhir dirubah dengan Undang Undang No 42 tahun 2009
Untuk Mendownload nya silahkan di Link berikut ini : UU No. 42 Tahun 2009
KUMPULAN ARTIKEL, TULISAN, BERITA, MAKALAH, DAN OPINI TENTANG PERPAJAKAN
by [TOSILAJARA] | 13.04 in Aturan, Download, PPN, Undang-Undang | komentar (3)
Setelah mengalami beberapa kali Perubahan, Undang Undang PPN terakhir dirubah dengan Undang Undang No 42 tahun 2009
Untuk Mendownload nya silahkan di Link berikut ini : UU No. 42 Tahun 2009
by [TOSILAJARA] | 22.02 in Artikel, Aturan | komentar (0)
DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah pada hari Rabu 16 September 2009.
Berikut ini disampaikan Pokok-Pokok Perubahan Undang-Undang PPN dan PPnBM berdasarkan Pendapat Akhir Pemerintah terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tanggal 16 September 2009 (sumber www.depkeu.go.id).
Pokok-Pokok Perubahan Undang-Undang PPN dan PPnBM 2009
Objek dan Non Objek Pajak
Dalam rangka menetralkan pembebanan PPN dan menambah daya saing kegiatan jasa yang dilakukan oleh pengusaha Indonesia di luar Daerah Pabean dan pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari Indonesia di Luar Daerah Pabean, maka atas ekspor JKP dan BKP Tidak Berwujud dalam RUU PPN dikenakan tarif 0% (nol persen).
Barang hasil pertanian yang diambil langsung dari sumbernya tetap sebagai BKP yang pengenaan PPN-nya akan menggunakan mekanisme pedoman pengkreditan Pajak Masukan (Deemed Pajak Masukan).
Bukan Objek
Untuk memberikan kepastian hukum, pengaturan jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN, yang semula diatur dengan Peraturan Pemerintah dinaikkan ke batang tubuh UU PPN dan PPnBM.
Untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri energi dalam negeri, barang hasil pertambangan umum yang diambil langsung dari sumbernya termasuk batubara tetap sebagai barang yang tidak dikenakan PPN.
Dalam rangka pemenuhan gizi rakyat Indonesia dengan harga yang terjangkau, maka daging segar, telur yang belum diolah, susu perah, sayuran segar dan buah-buahan segar ditetapkan sebagai barang kebutuhan pokok yang tidak dikenakan PPN.
Untuk menghindari pengenaan pajak berganda terhadap suatu objek yang sama, maka objek-objek tertentu yang sudah dikenakan pajak daerah dikecualikan dari pengenaan PPN, yaitu barang hasil pertambangan galian C, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran. rumah makan, warung dan sejenisnya, jasa perhotelan, jasa boga atau katering.
Untuk memberikan perlakuan yang sama, Jasa keuangan yang dilakukan oleh siapapun termasuk perbankan syariah ditetapkan sebagai bukan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dikenakan PPN.
Pengembalian (Retur) Jasa Kena Pajak (JKP)
Agar paralel dengan perlakuan pengembalian (retur) Barang Kena Pajak, dalam RUU PPN diatur mengenai perlakuan PPN atas penyerahan JKP yang dibatalkan/dikembalikan sebagian atau seluruhnya.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Dengan tujuan untuk memberikan ruang kepada Pemerintah dalam rangka melaksanakan fungsi regulasinya, maka batas atas tarif PPnBM dinaikkan dari 75% (tujuh puluh lima persen) menjadi 200% (dua ratus persen). Tarif tertinggi sebesar 200% (dua ratus persen) akan diterapkan apabila benar-benar diperlukan.
Pengkreditan Pajak Masukan.
Dalam RUU PPN diatur bahwa Pengusaha yang belum berproduksi tetap dapat mengkreditkan PPN yang telah dibayar atas pembelian barang modal. Namun demikian, apabila dalam kurun waktu tertentu pengusaha terse but ternyata gagal berproduksi maka atas PPN yang telah dikreditkan dan telah dimintakan pengembaliannya wajib dibayar kembali. Pengaturan batasan jangka waktu untuk Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang gagal berproduksi disepakati 3 (tiga) tahun sejak pengkreditan Pajak Masukan, dan berlaku untuk semua sektor usaha.
Restitusi PPN
Apabila dalam suatu Masa Pajak terdapat kelebihan pajak maka atas kelebihan pajak tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan dapat direstitusi pada akhir tahun buku, kecuali Wajib Pajak tertentu yang secara mekanisme PPN akan mengalami lebih bayar seperti eksportir dan penyalur/pemasok pemerintah, diperkenankan untuk restitusi di setiap Masa Pajak. Dengan pertimbangan untuk membantu likuiditas, memberikan pelayanan yang lebih baik dan mendorong kepatuhan sukarela Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban pajaknya (self assessment), Wajib Pajak tertentu yang memiliki resiko rendah, dapat diberikan restitusi dengan pengembalian pendahuluan tanpa melalui pemeriksaan terlebih dahulu. Pemeriksaan dapat dilakukan kemudian bila diperlukan. Sanksi yang dikenakan lebih rendah dari Undang-Undang KUP yaitu 2% (dua persen) perbulan, kecuali terdapat indikasi tindak pidana perpajakan maka sanksi yang berlaku sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam UU KUP.
Deemed Pajak Masukan.
RUU ini mengatur mengenai Deemed Pajak Masukan yaitu mekanisme penetapan besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan bagi Wajib Pajak tertentu, baik berdasarkan omzet maupun kegiatan usaha (sektoral), yang bertujuan untuk memberikan kemudahan Wajib Pajak dalam menghitung kewajiban PPN-nya.
Pemusatan tempat PPN terutang.
Dalam rangka mengurangi beban administrasi Wajib Pajak, RUU memberikan kemudahan prosedur penetapan pemusatan tempat terutang yaitu cukup dengan melakukan pemberitahuan secara tertulis kepada Oirektur Jenderal pajak.
Saat pembuatan Faktur Pajak.
Dalam rangka meringankan beban administrasi Wajib Pajak maka saat pembuatan Faktur Pajak adalah pada saat terutangnya pajak, yaitu pada saat penyerahan, atau dalam hal pembayaran mendahului penyerahan maka Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran. Oengan pengaturan ini, Wajib Pajak tidak perlu lagi membuat faktur penjualan (invoice) yang berbeda dengan Faktur Pajak.
Untuk membantu likuiditas Wajib Pajak, saat penyetoran PPN dan pelaporan SPT Masa PPN yang semula paling lambat tanggal 15 (lima belas) dan tanggal 20 (dua puluh) setelah Masa Pajak berakhir sebagaimana diatur dalam Undang-Undang KUP, diperlonggar menjadi paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Mengingat ketentuan ini tidak diatur dalam Undang-Undang KUP, maka ketentuan tersebut diatur dalam RUU PPN.
Fasilitas Perpajakan.
Untuk memberikan kepastian hukum bagi pemberian fasilitas perpajakan maka diberikan penambahan fasilitas, antara lain untuk:
perwakilan negara asing/badan-badan internasional
impor dan penyerahan BKP/JKP dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai pinjaman/hibah/bantuan luar negeri
listrik dan air
kegiatan penanggulangan bencana alam nasional
menjamin tersedianya angkutan umum di udara untuk mendorong kelancaran perpindahan arus barang dan orang di daerah tertentu yang tidak tersedia sarana transportasi lainnya yang memadai, dimana perbandingan antara volume barang dan orang yang harus dipindahkan dengan sarana transportasi yang tersedia sangat tinggi.
bahan baku kerajinan perak
Restitusi Turis Asing
Dalam RUU PPN diatur mengenai pemberian pengembalian PPN dan PPn BM atas barang bawaan yang dibawa ke luar daerah pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri (Turis Asing), dengan syarat nilai PPN minimal sebesar Rp. 500.000 (lima ratus ribu).
Tanggung Renteng.
Pengaturan mengenai tanggung renteng PPN yang pada waktu pembahasan RUU KUP diputuskan dihapus karena merupakan pengaturan material, dimasukkan ke dalam RUU PPN, mengingat ketentuan ini masih sangat diperlukan untuk melindungi pembeli maupun penjual.
Masa Berlaku RUU PPN dan PPnBM.
Mengingat diperlukannya waktu untuk mempersiapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini, penyempurnaan sistem dan prosedur, serta pelaksanaan sosialisasi baik internal maupun eksternal maka RUU PPN dan PPnBM ini diberlakukan mulai 1 April 2010.
by [TOSILAJARA] | 21.06 in Berita | komentar (0)
Pernahkah anda Mendengar pendapat bahwa "PAJAK ITU HARAM"
Kalau belum pernah, maka saat ini saya memeberi tahu bahwa ada orang yang berpendapat seperti demikian. Ketika saya tanya, jawabannya adalah karena tidak mengikuti sunnah, menurut dia "jaman Rasul dulu yang ada, adalah Baitul Mal, Bukan Pajak"
Nah sekarang pertanyaannya.... substansi pajak itu sendiri seperti apa ?
Kalau menurut saya.... dasar dari suatu negara memungut pajak adalah bukan untuk menyengsarakan umatnya melainkan untuk memeratakan kemakmuran umatnya dengan terjadinya subsidi silang dari yang kaya ke yang miskin "segi haramnya di Mana?"
Substansi dari BAitul Mal pun mungkin begitu, dengan maksud mensejahterakan umatnya....
Hasil dari pendapatan pajak digunakan untuk membayar gaji Pegawai, membangun sarana prasarana untuk rakyat, jika dalam perjalanannya ternyata banyak uang pajak yang salah arah, itu sudah soal lain karena yang salah bukan substansi dari pajak tersebut, tapi aplikasi dari penyaluran hasil pajak tersebut.
Jika yang dipersoalkan adalah sifat dari pajak yang memaksa dengan tarif yang ditentukan, maka cobalah kita berfikir,,,, gimana seandainya kita berikan kebebasan kepada semua warga untuk membayar pajak semau dia?.... apakah warga Indonesia semuanya telah jujur?, Maksud dari penerapan tarif hanyalah untuk menerapkan keadilan dalam pembayaran pajak?
Tapi semuanya kembali ke hati kita masing masing... karena prinsip itu menyangkut hati, bagi saya sendiri... Pajak adalah salah satu jalan untuk memakmurkan rakyat dan jalan bersedakah yang terorganisir untuk ibadah bagi kita semua
Bisa kita bayangkan jika dalam membangun sebuah jalan... ada sepeser uang kita yang digunakan untuk membangun jalan itu.... Amal jariah kita tentu akan mengalir sampai alam kubur, karena jalan tersebut membawa manfaat terus menerus kepada masyarakat yang melewatinya
Chicken Soup Perpajakan :
by [TOSILAJARA] | 09.51 in Peraturan Pemerintah, PPh | komentar (0)
Dengan terbitnya PP No 40 tahun 2009, maka terjadi perubahan pada aturan sebelumnya yaitu PP No. 51 tahun 2009 tentang PPh atas penghasilan dari jasa usaha konstruksi, yang intinya sebagai berikut :
Sedangkan Kontrak sejak1 Agustus 2008, dan kontrak sebelumnya tapi serah terima pekerjaan sejak 1 januari 2009, pengenaan PPh dilakukan berdasarkan PP No. 51 tahun 2008
Untuk mendownload PP 40 tahun 2009, silahkan download DI SINI
Bisnis Indonesia, 16 Februari 2009
Dalam beberapa hari terakhir, media massa memberitakan bahwa dengan berlakunya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) maka institusi atau lembaga penyelenggara pendidikan akan dikenakan pajak.
Pengenaan pajak bumi dan bangunan perlu dikaji dahulu
Informasi ini seolah menempatkan pajak sebagai penyebab mahalnya pendidikan yang sangat ditentang semua pihak saat ini. Untuk itulah setidaknya ada dua hal yang perlu ditanggapi berkaitan dengan perlakuan pajak di undang-undang tersebut.
Kriteria objek pajak dalam Pasal 38 Ayat 3 dan 4 UU BHP dan kedua perlakuan Pajak Bumi dan Banguanan (PBB) bagi institusi atau penyelenggara BHP.
Karena institusi pendidikan saat ini dituntut untuk mandiri maka kreativitas usaha untuk menghidupi rumah tangganya otomatis bergulir. Di satu sisi, berkaitan dengan perpajakan, institusi pendidikan telah memenuhi syarat sebagai subjek pajak sesuai dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Secara umum yang menjadi objek pajak dari subjek pajak adalah setiap tambahan kemampuan ekonomi dari subjek pajak tersebut. Lebih lanjut disebutkan ada beberapa hal yang dikecualikan sebagai objek pajak seperti sisa hasil (lebih) yang diterima atau diperoleh institusi pendidikan sepanjang memenuhi persyaratan dalam UU tersebut.
Sebenarnya Pasal 38 ayat 3 dan 4 UU BHP, yang menjadi polemik, telah sejalan dengan Pasal 4 Ayat 3 huruf m UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Hal yang dikecualikan sebagai objek pajak adalah sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan /atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut.
Sangat jelas sekali pada isi pasal tersebut setidaknya ada dua unsur yang harus dipenuhi sehingga sisa lebih tersebut masuk dalam kategori bukan objek pajak.
Pertama, unsur penggunaan kembali atau penanaman kembali ke bidang usahanya (pendidikan dan atau penelitian dan pengembangan). Kedua, unsur jangka waktu paling lambat 4 (empat) tahun. Nah, kalau salah satu atau kedua unsur tersebut tidak dipenuhi, otomatis sisa lebih terebut masuk sebagai objek pajak.
Tampaknya UU BHP telah mengantisipasi pelaksanaan ketentuan perpajakan dalam UU Pajak Penghasilan, hal itu tampak dalam Pasal 38 Ayat 4 UU BHP yang menyatakan bahwa kewajiban mengalokasikan sisa hasil (lebih) kedalam bentuk lain dapat dilakukan setelah jangka waktu 4 (empat) tahun terlampaui dengan konsekuensinya sisa lebih terebut akan menjadi objek pajak.
Perlakuan PBB
PBB sangat berbeda dengan pajak pajak lainnya yang berlaku di Indonesia. Karena prinsip dasar dari PBB ini adalah pajak atas objek pajak. Artinya, PBB tidak terlalu menekankan kepada subjek pajaknya (pemilik, penyewa, penguasa atau penerima manfaat) asalkan objek pajaknya (tanah dan atau bangunannya) jelas.
PBB ini muncul karena sebenarnya setiap orang akan mendapatkan manfaat dari tanah dan atau bangunan yang ada. Alhasil, sangat wajar sebagai penerima manfaat, memberikan kontribusinya kepada negara.
Tentunya, ada beberapa aturan yang bersifat detail terhadap perlakuan PBB ini. Contohnya, dalam Pasal 3 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 1994 tentang PBB disebutkan yang termasuk dalam objek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah objek pajak yang digunakan semata-mata untuk kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan yang nyata nyata tidak dimaksud untuk memperoleh keuntungan.
Berdasarkan pengertian ini, apakah institusi pendidikan yang menerapkan BHP termasuk salah satunya? Kalau melihat tujuan BHP untuk memberikan "kemandirian" dalam mengelola entitasnya maka perlu penelitian lapangan untuk mengetahui apakah institusi BHP masuk dalam kategori yang tidak dikenakan PBB atau tetap dikenakan PBB atau (mungkin) mendapatkan pengurangan PBB.
Hal ini menjadi tugas kantor pajak di lapangan untuk menindaklanjutinya sebelum keluar Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
Tugas pajak tidak hanya budgeter, tetapi juga reguleren. Artinya, pemerintah dapat menerapkan perlakukan khusus terhadap perlakuan pajak atas UU BHP ini.
Hal ini dilakukan untuk menyelesaikan masalah sisa hasil (lebih) yang diterima penyelenggara pendidikan tetapi tidak ditanamkan kembali atau sudah lewat dalam jangka waktu 4 (empat) tahun seyogianya Ditjen Pajak dapat menerapkan pajak ditanggung pemerintah (DTP) atau penerapan tarif pajak khusus.
Mengingat sebenarnya tambahan penerimaan pajak atas ini akan masuk kategori windfall, maka pemerintah tidak akan 'rugi'. Demikian juga untuk perlakuan PBB, pemerintah c.q. Ditjen Pajak dapat menerapkan tarif khusus. Kalau memungkinkan tarif 0% sehingga semua PBB tidak terutang.
Chandra Budi
Staf Ditjen Pajak Departemen Keuangan
by [TOSILAJARA] | 13.17 in Berita | komentar (0)
DAFTAR PTKP BERDASARKAN | |||||
UU PPh No. 36 Tahun 2008 | |||||
NO | STATUS | BESARNYA PTKP | |||
1 | TK | Rp 15.840.000 | |||
2 | K/0 | Rp 17.160.000 | |||
3 | K/1 | Rp 18.480.000 | |||
4 | K/2 | Rp 19.800.000 | |||
5 | K/3 | Rp 21.120.000 | |||
6 | K/I/0 | Rp 33.000.000 | |||
7 | K/I/1 | Rp 34.320.000 | |||
8 | K/I/2 | Rp 35.640.000 | |||
9 | K/I/3 | Rp 36.960.000 | |||
Perjalanan reformasi birokrasi nampaknya tak terasa sudah dimulai sejak tahun 2002 yang dimasinisi oleh Depertemen Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak. (DJP) sebagai lokomotifnya. Tentunya hal ini tidak mengagetkan dengan dimulainya DJP sebagai instansi percontohan reformasi birokrasi dalam memberikan pelayanan prima dan pelaksanaan good governance mengingat kedudukan DJP sebagai instansi yang sangat strategis.
Tahun 2007 ini saja DJP berkewajiban untuk memasukkan penerimaan APBN yang bersumber dari sektor pajak sekitar 70% dan diharapkan setelah reformasi birokrasi berlangsung, penerimaan pajak dapat memberikan kontribusi pada penerimaan APBN hingga mendekati 100% (Majalah Berita Pajak Vol. XXXIX No 1591, 15 Juli 2007). Dengan meningkatnya penerimaan dari sektor perpajakan, diharapkan pula pemerintah mampu meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat dengan tanpa menengadahkan tangan kepada negara lain. Tanpa disadari penjajahan baru (Neokolonialisme) setelah 62 tahun bangsa Indonesia merdeka sebenarnya adalah ketergantungan kepada negara lain, dimana bangsa Indonesia sudah termasuk dalam kelompok Negara-Negara Miskin Pengutang Berat (Highly Indebted Poor Countries, HIPS) seperti diungkapkan dalamWacana:Kejahatan Utang Luar Negeri dan Reformasi Bank Dunia (Jurnal Ilmu Sosial Transformatif No III tahun 1999). Banyak pakar berpendapat bahwa tidak ada suatu bangsa yang secara ikhlas membantu bangsa lain. Motif dibalik hubungan ekonomi internasional baik berupa utang luar negeri maupun investasi asing adalah keuntungan semata-mata dalam bentuk penyedotan surplus ekonomi. Beberapa tokoh yang mengemukakan pendapat ini antara lain Prof Rowena M. Lawson, Prof. Joan Robinson, dan Prof. Hans Singer dari University of Hall England, 1997.
Dengan demikian syarat mutlak menuju kemandirian bangsa adalah dengan meningkatkan peran serta aktif seluruh masyarakat melalui pembayaran pajak. Reformasi birokrasi di tubuh DJP kali ini lebih dikenal dengan kata Modernisasi. Modernisasi tidak hanya sebatas peraturan (kebijakan) perpajakan seperti yang terdahulu, yakni Amandemen Undang-Undang Pajak, melainkan secara komprehensif dan simultan menyentuh instrumen perpajakan lainnya seperti sistem, institusi, pelayanan kepada masyarakat wajib pajak, pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan, serta tak kalah pentingnya moral, etika, dan integritas petugas pajak
KPP Pra Modern
Dalam sejarah reformasi perpajakan tercatat bahwa DJP telah melakukan reformasi besar-besaran pertama kali pada tahun 1983 dengan merubah sistem pemungutan pajak dari semula Official Assessment System menjadi Self Assesment System yang pada waktu itu Kantor Pajak masih dinamakan Kantor Inspeksi Pajak. Kemudian pada tahun 1989, Kantor Inspeksi Pajak diubah menjadi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang menjalankan fungsi pelayanan untuk jenis Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sedangkan KP. PBB (Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan) yang berfungsi sebagai kantor pelayanan untuk jenis Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB). Fungsi pemeriksaan dijalankan oleh Karikpa (Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak) yang sebelum tahun 1994 disebut Unit Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (UP3) dan Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP-4) yang sebelum tahun 2001 disebut Kantor Penyuluhan sebagai fungsi penyuluhan.
Stuktur organisasi pada fungsi pelayanan di KPP Pra Modern berdasarkan jenis pajak seperti Seksi PPh Badan, PPh Perseorangan, PPh Pemotongan Pemungutan, dan PPN. Pada struktur ini fungsi pelayanan dilakukan oleh KPP namun pemeriksaan juga dilaksanakan oleh KPP selain Karikpa, Fungsional Kanwil, dan Fungsional Kantor Pusat DJP sehingga terjadi fungsi ganda. Begitu juga dengan pelayanan tidak bersifat satu atap (one stop service) karena mengingat jenis pajak PPh dan PPN diadministrasikan oleh KPP sedangkan jenis pajak PBB dan BPHTB oleh KP. PBB. Pengajuan keberatan sebelum modern diproses di KPP disamping Kanwil dan Kantor Pusat DJP, hal ini memunculkan dualisme fungsi, karena yang memeriksa adalah KPP dan proses penyelesaian keberatan juga dilakukan di KPP untuk aristasi KPP. Hal inilah yang mendorong dibentuknya KPP Modern.
KPP Modern
Jika kita cermati, perjalanan panjang modernisasi perpajakan DJP dari tahun 2002 hingga sekarang adalah pertama, bermula pada medio 2002 sesuai Kepmenkeu No 65/KMK.01/2002 dibentuk 2 KPP LTO (Large Taxpayers Office) yang kemudian disebutKPP WP BESAR yang berdomisili di Jakarta dengan jumlah masing-masing WP sebanyak 300 WP Badan terbesar di seluruh Indonesia dan hanya mengadiminstrasikan jenis Pajak PPh dan PPN. Kedua,pada tahun 2003 dengan Kepmenkeu No 519/KMK.01/2003 jo. 587/KMK.01/2003 dibentuk 10 KPP KHUSUS yang berdomisili di Jakarta meliputi KPP BUMN, Perusahaan PMA, WP Badan dan Orang Asing, dan Perusahaan Masuk Bursa dan hanya mengadiminstrasikan jenis Pajak PPh dan PPN.Ketiga, pada tahun 2004 berdasarkan Kepmenkeu No 254/KMK.01/2004 dibentuk KPP MTO (Medium Taxpayers Office) yangkemudian disebut KPP MADYA yang berjumlah 1 di setiap Kanwil dan 10 di Kanwil Khusus dengan total 32 KPP Madya di seluruh Indonesia. Jumlah masing-masing WP KPP Madya sebanyak 200-500 perusahaan terbesar di tingkat wilayah Kanwil tersebut termasuk WP lokasi yang domisilinya terdaftar pada Kanwil modern lain dan Indonesia. KPP Madya juga hanya mengadministrasikan jenis Pajak PPh dan PPN. Keempat, pada tahun 2006 hingga 2008 dibentuk KPP Small Taxpayers Office (STO) yang kemudian disebut KPP PRATAMA dengan total 357 KPP Pratama di seluruh Kanwil. KPP Pratama bertugas melayani WP Badan menengah ke bawah dan WP Orang Pribadi meliputi jenis pajak PPh, PPN, PBB, dan BPHTB.
Dalam struktur yang modern ini terdapat perbedaan yang cukup radikal dan signifikan yakni yang dulunya struktur organisasi KPP Pra Modern berdasarkan jenis pajak diubah menjadi berdasarkan fungsi guna debirokratisasi pelayanan seperti Seksi Pelayanan dan Seksi Pemeriksaan dibentuk secara terpisah. Pelayanan perpajakanpun sudah mulai satu atap (one stop service) karena semua jenis pelayanan perpajakan baik jenis pajak PPh, PPN, PBB, dan BPHTB dilakukan di KPP Pratama sedangkan untuk KPP WP Besar dan KPP Madya hanya jenis pajak PPh dan PPN, sehingga menyebabkan adanya peleburan KP.PBB ke KPP Pratama. Proses penyelesaian keberatan hanya ada di tingkat Kanwil, mengingat di Kanwil tidak menjalankan fungsi pemeriksaan lagi karena fungsi pemeriksaan sepenuhnya dilaksanakan oleh KPP Modern yang menyebabkan pula dileburnya Karikpa ke KPP Modern.
Pelayanan Prima KPP Modern
Dengan model KPP Modern seperti diuraikan di atas diharapkan DJP dapat memberikan pelayanan prima kepada masyarakat dalam masalah perpajakan. Untuk mensukseskan pelayanan prima tersebut DJP telah menyiapkan pelayanan ekstra pada setiap KPP Modern.
Tersedianya Account Representatives (AR) sebagai ujung tombak pelayanan dan perantaran antara DJP dengan WP yang mengemban tugas melayani setiap Wajib Pajak dalam hal antara lain pertama membimbing/menghimbau WP dan memberikan konsultasi teknis perpajakan. Kedua, memonitor penyelesaian pemeriksaan pajak, proses keberatan, serta mengevaluasi hasil banding. Ketiga, melakukan pemuktahiran data WP dan menyusun profil WP. Keempat, menginformasikan ketentuan perpajakan terbaru, Kelima, memonitor kepatuhan WP melalui pemanfaatan data & SAPT (Sistem Administrasi Perpajakan Terpadu). Keenam, menyelesaian permohonan surat keterangan yang diperlukan WP. Ketujuh,menganalisis kinerja wajib pajak. Kedelapan, merekonsiliasi data Wajib Pajak dalam rangka intensifikasi. Dengan demikian setiap WP dapat menanyakan hak dan kewajiban perpajakannya kepada setiap AR di KPP Pratama yang telah ditunjuk untuk masing-masing WP sesuai dengan wilayah kelurahan
Pembentukan contact center : complain center, call center, non filers activation center. Dimana pengaduan yang diterima olehcomplain center akan dikoordinasikan dengan unit terkait dan akan ditindaklanjuti dalam waktu 3 hari kerja dan jenis-jenis pengaduan termasuk mengenai pelayanan, konsultasi, pemeriksaan, keberatan dan banding. Adapun media penyampaian pengaduan dapat melalui e-mail, pos, nomor telpon bebas biaya, atau langsung.
Sarana, prasarana, dan pendukung lainnya yang lebih modern meliputi Pertama, Help Desk dengan teknologi knowledge basepada Tempat Pelayanan Terpadu atau dikenal TPT (service counter), Kedua, pelayanan dengan menggunakan sistem komunikasi dan teknologi informasi terkini yang dikenal dengan sebutan e-system antara lain e-payment (pembayaran pajak secara on line), e-registrasion (pendaftaran wajib pajak melalui internet), e-filling (pelaporan pajak melalui internet), e-spt (pengisian SPT dengan program yang telah disediakan DJP), dan e-counseling (konsultasi secara on line). Ketiga, Built in control system: pemanfaatan sistem teknologi informasi untuk pengawasan internal termasuk pengawasan data. Keempat, petugas pajak yang berkualitas tinggi berbasis kompetensi. Kelima, penerapan Kode Etik Pegawai yang diawasi oleh Komite Kode Etik Pegawai, Komisi Ombudsman Nasional, Tim Khusus Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan, dan 2 Subdirektorat Kantor Pusat DJP yang menangani Pengawasan Internal. Keenam, Sistem remunerasi yang lebih baik dengan adanya TKT (Tunjangan Kegiatan Tambahan). Ketujuh, Layar sentuh Informasi Perpajakan (Touch Screen). Kedelapan, Sistem antrian dan LCD Proyektor berikutelectric screen layaknya di Bank. Kesembilan, tersedianya ruang konseling/closing conference serta brosur, leaflet, dan majalah perpajakan. Kesepuluh, tersedianya Bank/Tempat Pembayaran Pajak (bekerjasama dengan PEMDA setempat/Kantor Pos).
Fokus Ekstensifikasi KPP Modern
Mengingat struktur penerimaan pajak saat ini masih bertumpu pada WP Badan dengan jenis pajak PPh dan PPN maka kontribusi penerimaan PPh WP Orang Pribadi (WP OP) perlu ditingkatkan sebagaimana lazimnya di negara maju seperti di Amerika Serikat = 86%, Jepang = 60%, Filipina = 37%, Thailand = 36%, Malaysia = 28% sedangkan Indonesia sendiri 28% itupun hasil kontribusi dari PPh Pasal 21 Karyawan, PPh Pasal 25 Angsuran, dan PPh Pasal 29 Kurang Bayar Akhir Tahun Perseorangan (Makalah Modernisasi Administrasi Perpajakan KPP Pratama, Kantor Pusat DJP)
Secara Nasional jumlah WP Orang Pribadi yang terdaftar di Indonesia masih sangat sedikit, yaitu 2,9 juta NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) pribadi dari sekitar 220 juta penduduk, (Majalah Berita Pajak Vol. XXXIV No 1584, 1 April 2007).
Pada masa modernisasi pajak kali ini ekstensifikasi perpajakan difokuskan kepada karyawan melalui pemberi kerja dan bendaharawan pemerintah dan non karyawan berdasarkan property base sasarannya pertokoan, mall, pusat perdagangan, perumahan, apartemen, dan lainnya serta professional based sasarannya seperti dokter, notaris/PPAT, pengacara, artis, dan sebagainya dengan tujuan lebih tepat sasaran.
Kode Etik Pegawai DJP
Reformasi perpajakan di segala lini yang telah disusun oleh DJP akan sia-sia jika tanpa dukungan dari pihak eksternal maupun dari pihak internal. Sebagai bukti keseriusan pemerintah dalam melangsungkan modernisasi pajak adalah dengan menyeimbangkan reward dan punishment serta menegakkan ketertiban etika, moral, dan integritas petugas pajak. DJP-pun telah menyusun sebuah Kode Etik Pegawai DJP yang diatur dalam Permenkeu No 1/PMK.3/2007 tanggal 23 Juli 2007 tentang 9 kewajiban pegawai dan 8 larangan pegawai baik kepada masyarakat WP, sesama pegawai, atau pihak lain dengan sanksi setinggi-tingginya pemberhentian dengan tidak hormat dan serendah-rendahnya pernyataan tidak puas secara tertulis. Tercatat selama tahun 2006 terdapat 210 pegawai pajak yang telah dijatuhkan sanksi disiplin dan selama Januari 2007 sebanyak 31 orang (Majalah Berita Pajak Vo. XXXIV No 1583, 15 Maret 2007)
Nampaknya, inilah wajah baru KPP Modern ke depan di seluruh Indonesia. Visi yang dicanangkan oleh DJP yakni ”Menjadi Model Pelayanan Masyarakat Yang Menyelenggarakan Sistem dan Manajemen Perpajakan Kelas Dunia, Yang Dipercaya dan Dibanggakan Masyarakat” nampak bukan sebatas impian yang jauh di awang-awang. Ekspektasi dari modernisasi pajak ini adalah meningkatkan kepatuhan (tax compliance), menurunkan keluhan, menurunkan biaya administrasi, menekan/minimalisasi penggelapan pajak, meningkatkan kepercayaan terhadap administrasi perpajakan, serta tak lupa meningkatkan integritas dan produktivitas pegawai pajak.
Dan tentunya tanpa adanya dukungan penuh dari masyarakat luas niscaya modernisasi pajak tidaklah membawa dampak yang positif bagi masa depan bangsa. Dengan demikian slogan ”Pajak, Bersama Anda Membangun Bangsa” atau ”Lunasi Pajaknya, Awasi Penggunaannya” harus kita dukung sepenuhnya agar hasil perjuangan patriot bangsa dalam memerdekakan bangsa Indonesia bisa dinikmati oleh anak cucu kita dan kita doakan semoga modernisasi pajak membawa kemandirian dan kehormatan bangsa.
Tim Penulis Tax Center UNPAD - Tax Center UNPAD, 28 Desember 2007
Abstraksi
Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah subyek pajak luar negeri yang kewajiban perpajakannya diperlakukan relatif sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya. Perbedaan perlakuan perpajakannya dibandingkan dengan wajib pajak dalam negeri antara lain adalah (i) BUT tidak dapat menikmati tax treaty Indonesia dengan negara treaty partner lainnya karena ia bukan penduduk Indonesia, dan (ii) atas laba bersih setelah pajak yang diterima atau diperoleh suatu BUT dikenakan branch profit tax. Untuk menghindari pengenaan pajak berganda atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh penduduk dari negara treaty partner di Indonesia, pengujian keberadaan suatu BUT perusahaan dari negara treaty partner tersebut di Indonesia sebagai kriteria diperlukan untuk menentukan apakah Indonesia memiliki hak untuk memajaki penghasilan tersebut.
Kata Kunci: a permanent establishment, branch profit tax, tax treaty, resident taxpayer, non resident taxpayer, beneficial owner, force of attraction rule, attributable rule, effectively connected rule, OECD Model.
1. PENDAHULUAN
Sedikitnya ada 2 (dua) perubahan besar yang diakibatkan oleh globalisasi. Yang pertama adalah bahwa era globalisasi yang diwarnai dengan tumbuhnya kawasan bebas perdagangan, jasa dan modal (misal: NAFTA, European Community, dan terakhir AFTA), transaksi internasional telah bertumbuh dengan pesatnya baik dari sisi frekuensi maupun volumenya. Dan yang kedua adalah masuknya investasi asing ke suatu negara dalam bentuk portfolio investment dan foreign direct investment mengakibatkan implikasi yang luas baik dari sisi sosial, ekonomi, hukum dan keamanan terhadap negara pengimpor modal (importing capital countries) misalnya Indonesia.
Dalam melakukan investasi langsung di Indonesia, investor asing dapat melakukannya dalam bentuk joint venture dengan perusahaan asing lainnya dan perusahaan lokal. Umumnya, perusahaan ini berbentuk penanaman modal asing dan berbadan hukum Indonesia sehingga perusahaan penanaman modal asing adalah wajib pajak dalam negeri (resident taxpayer).
Selain itu, perusahaan asing dapat menjalankan usahanya melalui bentuk usaha di Indonesia. Ini yang disebut dengan Bentuk Usaha Tetap (selanjutnya disingkat BUT). Apabila investor asing menjalankan bisnisnya di Indonesia melalui BUT ( a permanent establishment) berarti bahwa perusahaan tersebut tidak berbadan hukum Indonesia sehingga BUT adalah bukan wajib pajak dalam negeri.
Tujuan penulisan paper ini adalah membahas perlakuan Pajak Penghasilan (income tax treatments) suatu BUT perusahaan asing di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan dan tax treaty. Sehingga diharapkan para pembaca memiliki pemahaman tentang BUT.
2. Pengertian Bentuk Usaha Tetap
Sesuai Pasal 2 ayat 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor: 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut Undang-Undang PPh), BUT diartikan sebagai bentuk usaha yang dipergunakan oleh subyek pajak luar negeri (non resident taxpayer) baik orang pribadi (nature person) atau badan (legal person) untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Sesuai OECD Model, yang dimaksud BUT adalah: a fixed place of business through which the business of an enterprise is wholly or partly carried on. Artinya bahwa BUT adalah suatu tempat usaha tetap yang digunakan perusahaan untuk menjalankan seluruh atau sebagian besar usahanya. Pengertian tersebut mengandung beberapa karakteristik yang mewarnai suatu BUT perusahaan asing di Indonesia yaitu: (i) adanya tempat usaha berupa prasarana, (ii) tempat usaha ini harus bersifat tetap, (iii) kegiatan usaha perusahaan dilakukan melalui tempat usaha tersebut, dan (iv) sifatnya harus produktif, dimana BUT tersebut harus ikut andil dalam memberikan laba usaha bagi perusahaannya (kantor pusatnya).
Dalam rangka penghindaran pajak berganda, keberadaan suatu BUT sangat diperlukan sebagai kriteria untuk menentukan apakah Indonesia sebagai negara sumber memiliki hak untuk memajaki penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh penduduk dari negara treaty partner. Namun kriteria tersebut tidak berlaku apabila penerima penghasilan (beneficial owner) berasal dari negara non treaty partner.
Sesuai Tax Treaty Model OECD, pengecualian timbulnya BUT yaitu sebagai berikut:
3. Klasifikasi Bentuk Usaha Tetap
Keberadaan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia dapat diidentifikasi kedalam beberapa kelompok yaitu: i) BUT fasilitas fisik (assets type), (ii) BUT aktivitas (activity type), (iii) BUT keagenan (agency type), dan (iv) BUT asuransi (insurance type).
(i) BUT Fasilitas Fisik
Keberadaan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia timbul apabila perusahaan asing tersebut memiliki fasilitas fisik yang merupakan tempat untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usahanya di Indonesia. Fasilitas fisik tersebut merupakan milik sendiri atau disewa dari pihak lain. Contoh fasilitas fisik antara lain adalah:
(ii) BUT Aktivitas
Keberadaan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia timbul apabila perusahaan asing tersebut menjalankan kegiatan jasa-jasa (furnishing of services) di Indonesia dalam jangka waktu melebihi tes waktu (time treshold). Sesuai Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan, termasuk BUT Aktivitas adalah:
(iii) BUT Keagenan
Dianggap timbul suatu BUT perusahaan asing di Indonesia apabila perusahaan asing tersebut menjalankan usahanya di Indonesia melalui perusahaan lain yang bertindak sebagai agen yang tidak bebas (dependent agent). Yang dimaksud dengandependent agent adalah agen yang didalam melaksanakan usahanya bertindak untuk dan/atau atas nama perusahaan di luar negeri atau kegiatan agen tersebut seluruhnya atau hampir seluruhnya untuk perusahaan di luar negeri.
(iv) BUT Asuransi
Keberadaan BUT perusahaan asuransi asing timbul di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menutup resiko secara langsung di Indonesia. Pada umumnya, jenis BUT ini belum ada karena perusahaan asing dilarang berusaha secara langsung di Indonesia kecuali dalam bentuk joint venture.
Dalam tax treaty, tes waktu dianggap timbulnya suatu BUT di Indonesia pada umumnya lebih lama ketimbang tes waktu yang diatur dalam Undang-Undang PPh. Misalnya, tes waktu untuk pemberian jasa lain-lain sesuai Undang-Undang PPh adalah 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan tetapi untuk tax treaty Indonesia-Australia adalah 120 hari dalam 12 bulan (lihat tabel 2). Perbedaan ini timbul dari hasil kesepakatan wakil dari kedua negara di dalam perundingan. Negara-negara maju (developed countries) cenderung menginginkan tes waktu yang lebih lama sehingga kemungkinan timbulnya suatu BUT sehubungan dengan jasa konstruksi ataupun pemberian jasa-jasa lain-lain di Indonesia dapat dihindari. Sehingga atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh perusahaan asing di Indonesia tidak dikenai pajak di Indonesia.
4. Cakupan Penghasilan Suatu BUT
Sesuai Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, penghasilan terutang pajak suatu BUT perusahaan asing di Indonesia adalah penghasilan yang diterima atau diperolehnya dari Indonesia. Dan sesuai Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, diatur mengenai cakupan penghasilan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia yaitu:
(i) Sesuai Attribution Rule, penghasilan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia adalah penghasilan yang berasal dari kegiatan usahanya di Indonesia. Misalnya, apabila BUT perusahaan asing tersebut bergerak dibidang perdagangan, maka penghasilannya di Indonesia adalah penghasilan yang berasal dari kegitan usaha perdagangannya di Indonesia;
(ii) Sesuai Force of Attraction Rule, penghasilan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia adalah termasuk penghasilan kantor pusatnya dari Indonesia yang diperolehnya dari kegiatan usaha yang sejenis dengan kegiatan BUT nya di Indonesia. Dengan demikian, penghasilan yang diterima atau diperoleh kantor pusatnya dianggap sebagai penghasilan BUT nya di Indonesia.;
(iii) Sesuai Effectively-Connected Rule, penghasilan pasif (misalnya: bunga dan royalty) yang diterima atau diperoleh kantor pusatnya dan memiliki hubungan efektif dengan kegiatan usaha BUT nya di Indonesia dianggap sebagai penghasilan BUT nya di Indonesia.
Umumnya, penentuan cakupan penghasilan suatu BUT diperlukan untuk melindungi hak pemajakan negara-negara berkembang (developing countries) seperti Indonesia. Dalam perundingan, cakupan penghasilan suatu BUT sering diperdebatkan oleh wakil-wakil dari kedua Negara.
5. Pajak Penghasilan Badan dan Branch Profit Tax
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya di atas bahwa untuk tujuan perpajakan, perlakukan perpajakan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia diperlakukan sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya yaitu antara lain :
Namun demikian atas laba bersih setelah Pajak Penghasilan Badan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia dikenakan tambahan pajak yang sering disebut sebagai branch profit tax dengan tarif sebesar 20% dari laba bersih setelah pajak (net income after tax).
Apabila perusahaan asing tersebut berasal dari negara treaty partner, maka besarnya tarif branch profit tax sesuai ketentuan tax treaty yang berlaku (lihat tabel 1). Penentuan besarnya tarif branch profit tax sering menjadi perdebatan dalam perundingan tax treaty Indonesia dengan negara-negara lainnya karena beberapa hal yaitu: (i) negara treaty partner tidak menerapkan branch profit tax di negaranya, atau (ii) untuk melindungi kepentingan Indonesia dibidang industri hulu Minyak dan Gas Bumi.
Dalam rangka menentukan besarnya penghasilan kena pajak (taxable income) suatu BUT perusahaan asing di Indonesia, pembayaran ke kantor pusat yang tidak boleh dikurangkan sebagai deductible expenses adalah:
Selain itu, biaya administrasi kantor pusat yang dialokasikan ke BUT nya di Indonesia yang dapat dibebankan hanya sebesar rasio antara jumlah penghasilan BUT nya di Indonesia dengan jumlah penghasilan globalnya dikalikan dengan jumlah biaya administrasi kantor pusat.
Insentif pajak yang diperoleh suatu BUT perusahaan asing di Indonesia adalah pembebasan PPh Pasal 26 ayat (4) atas branch profit tax apabila memenuhi persyaratan yangbersifat kumulatif yaitu:
6. Penutup
Tim Penulis Tax Center UNPAD - Tax Center UNPAD, 7 Desember 2007
Dikutip dari Pajakonline.com
SERBA SERBI PAJAK © 2008 All rights reserved.
Design by Padd IT Solutions
.Converted to Blogger by Blogger Tricks.
Distributed by Deluxe Templates